Game of Thrones dalam Isu Pemotongan Transfer Keuangan Daerah
13Okt'25
Admin
0 Komentar
82x Dibaca
Game of Thrones dalam Isu Pemotongan Transfer Keuangan Daerah
Aryanto Husain Senin, 13 Oktober 2025
When you play the game of thrones, you win or you die. There is no middle ground. (Motto sebuah keluarga fiksi dalam cerita House Lannister)
Awal Oktober ini menjadi ujian tersendiri bagi Menteri Keuangan Purbaya Yudi Sadewa (PYS). Tidak kurang 18 Gubernur dan Wakil Gubernur menyampaikan aspirasi, bahkan protes atas kebijakannya, memotong TKD hingga 20-30%.
Protes ini jelas dan masuk akal. Pemotongan TKD akan mengganggu RAPBD yang sudah disusun dan 'disetujui'. Juga bisa menghambat program prioritas daerah, seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
Ketidakpastian fiskal yang parah di daerah bahkan mungkin bisa terjadi didaerah. Beberapa daerah yang ruang fiskalnya semakin sempit akibat berkurnangnya TKD akan semakin sulit mengelola program untuk masyarakat termasuk pertumbuhan. Ini tidak sejalan dengan upaya PYS mengelola fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan PYS dan protes para Gubernur seperti cerita "Game of Thrones". Jika bagi Pusat pemotongan TKD adalah langkah penghematan yang logis. Bagi daerah, ini adalah bencana.
Game of Thrones adalah permainan merebut dan mempertahankan kekuasaan tertinggi, yang ditandai dengan intrik, persekongkolan, pengkhianatan, dan konflik. Konsep ini menjadi terkenal dalam Novel A Song of Ice and Fire karya George R.R. Martin, dan Serial TV Adaptasi Game of Thrones yang diproduksi oleh HBO.
Dalam isu pemotongan TKD, Game of Thrones digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan friksi antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pusat sebagai The Iron Throne, memegang kekuasaan fiskal tertinggi dan harus membuat keputusan rasional untuk stabilitas nasional. Seperti seorang Raja yang harus mempertahankan tahta.
Sementara para Kepala Daerah sebagai the Great Houses, memiliki kekuasaan di daerahnya masing-masing dan merasa haknya (anggaran) dirampas oleh keputusan sepihak dari "Tahta Besi". "Pertempuran"nya bukan dengan pedang, tetapi dengan protes, tekanan politik, dan argumen.
PYS menegaskan bahwa kinerja fiskal daerah menjadi faktor penentu dalam pengambilan keputusan. Banyak kebijakan daerah yang serapannya rendah dan tidak tepat sasaran. Belum lagi sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) yang tinggi di beberapa daerah terjadi setiap tahunnya. PYS mengklaim lemahnya manajemen keuangan di tingkat daerah menimbulkan dampak yang kurang nyata bagi masyarakat.
Sebaliknya bagi daerah ini digambarkan sebagai pengaruh bias perilaku loss aversion (rasa kehilangan) dan fairness (rasa keadilan). Rasa "kehilangan" ini langsung, nyata, dan menyakitkan. Sementara janji "pembangunan yang lebih baik" di masa depan terasa abstrak dan jauh.
Secara naluriah, para kepala Daerah lebih memilih menghindari rasa sakit itu. Itulah sebabnya, meski kebijakan PYS secara matematis untuk efektivitas anggaran, bagi daerah, secara psikologis, kebijakan ini adalah "pukulan" yang tidak bisa diterima.
Betapa tidak. Anggaran TKD itu sudah dialokasikan dalam berbagai akun mental, misalnya akun proyek jalan, akun tunjangan guru, akun bantuan sosial. Pemotongan ini terasa seperti orang lain seenaknya mengobrak-abrik celengan yang sudah direncanakan dengan rapi.
Rasa keadilan (fairness) juga seperti di challenged. Daerah yang sudah kerja keras mencari pemasukan sendiri, merasa dipukul rata. Para Gubernur bukan hanya protes karena dananya dipotong, tetapi juga karena merasa tidak dihargai dan diperlakukan tidak adil.
Friksi ini seperti membaca keselarasan logika negara dengan naluri rakyat. Negara memang butuh penerimaan, antara lain dari efesiensi dan efektivitas anggaran. Namun di daerah, rakyat membutuhkan intervensi kebijakan langsung dari Kepala Daerah.
Sejatinya, keberhasilan sebuah kebijakan tidak hanya bergantung pada kebenaran teknis-ekonominya, tetapi juga pada bagaimana kebijakan tersebut "dirasakan" dan "diproses" secara psikologis oleh masyarakat.
Kebijakan PYS jangan sampai gagal membaca kekuatan dan pengaruh loss aversion dan fairness heuristic ini.
Pusat perlu menyadari bahwa dalam aritmatika kekuasaan, kolom "perasaan" sama pentingnya dengan kolom "penerimaan dan pengeluaran". Perlu disadari, komunikasi dan rasa hormat sama pentingnya dengan angka.
Melibatkan Kepala Daerah sejak awal, menjelaskan kesulitan dengan transparan, dan memberi mereka rasa memiliki dalam solusi akan menjelaskan posisi daerah bukan "pion dalam game" fiskal Pemerintah Pusat.
Sebaliknya bagi daerah, perlu bertanya lebih mendalam, apakah kebijakan fiskal sudah untuk peruntukan yang jelas, dengan penyerapan yang terukur. Atau apakah anggaran itu hanya di tabung dalam bentuk SiLPA. Kita semua perlu kembali bertanya. Jika kebijakan ini benar secara angka, apakah demikian juga benar dengan yang dirasakan oleh mereka yang terkena dampaknya?
Game of Thrones bukan sekadar serial TV yang menghibur. Konsepnya mengajarkan kita bahwa kekuasaan adalah permainan yang kompleks, di mana idealisme, kekuatan, uang, dan informasi saling bertarung.
Pemotongan TKD jangan seperti Game of Thrones. Bahwa saat kamu memainkan permainan tahta, kamu menang atau kamu mati. Tidak ada jalan tengah. When you play the game of thrones, you win or you die. There is no middle ground.
Sebaliknya, kebijakan ini harus dibaca sebagai strategi bersama memperbaiki kebijakan fiskal, dengan tidak hanya melalui pertimbangan perhitungan angka-angka di spreadsheet exceel, tapi juga menghitung dan memahami aritmatika perasaan rakyat.
Komentar