Mental Accounting Menkeu Purbaya, Setiap Rupiah Harus Berdampak
27Okt'25
Admin
0 Komentar
37x Dibaca
Mental Accounting Menkeu Purbaya, Setiap Rupiah Harus Berdampak
Aryanto Husain Senin, 27 Oktober 2025
Bukan Purbaya Yudi Sadewa (PYS) namanya jika tidak buat sensasi. Sejak berkiprah di Danareksa hingga menduduki beberapa posisi strategis pemerintahan, PYS selalu buat "gaduh" dengan pernyataan dan sikapnya. Setelah menjadi Menteri Keuangan, kegaduhan makin menjadi-jadi. Terakhir saat Gubernur Jabar dan Sumut protes atas tudingan menyimpan APBD di perbankan alih-alih dibelanjakan. Namun PYS bergeming.
Dia tetap memastikan setiap anggaran Pemerintah dikelola sesuai peruntukan. Anggaran yang sudah dibagi-bagi itu harus digunakan sesusai rencana dan dihabiskan. PYS sedang ingin memperbaiki mental accounting para penyelenggara negara.
Mental accounting adalah konsep yang diperkenalkan oleh Richard Thaler, penerima Nobel Ekonomi pada 2017. Bahwa manusia cenderung mengkategorikan uang ke dalam akun mental yang berbeda, misalnya misalnya: gaji, bonus, bantuan, utang, atau hibah. Ketika belanja, kita merasa sayang menggunakan gaji pokok yang diterima, namun tidak segan menghabiskan bonus yang diperoleh untuk memborong barang meski kadang tidak dibutuhkan.
Cara emosional ini juga terjadi dalam birokrasi. Anggaran dikelola dengan label yang berbeda tergantung dari sumber atau tujuan penggunaannya, meski secara ekonomi, uang itu saling dapat dipertukarkan (fungible). Pemerintah sering membagi anggaran dengan cara emosional, kadang bahkan tidak efisien. Misalnya dalam hal belanja wajib, proyek prioritas, bantuan rakyat dan lain sebagainya.
Labelisasi anggaran ini kadang menimbulkan rigiditas dan ilusi keterikatan. Dana alokasi khusus (DAK) dianggap “harus habis” di sektor tertentu, meski tahu efisiensinya rendah. Sejatinya, DAK secara ekonomi akan mungkin akan lebih bermanfaat jika dialihkan untuk sektor lain yang lebih produktif.
Kita juga sering mengalami December Fever, perilaku percepatan belanja akhir tahun. Anggaran terkesan buru-buru dihabiskan agar tidak dikurangi tahun depan. Akibatnya terjadi pemborosan, kualitas pengadaan menurun, dan muncul persepsi anggaran harus dihabiskan meski tidak termanfaatkan secara optimal.
Ini adalah bentuk mental accounting yang melihat “sisa anggaran” sebagai kerugian psikologis daripada efisiensi.
PYS mencoba merubah bias akun mental itu, melakukan reframing anggaran. Baginya anggaran adalah “investasi publik”, bukan “uang yang harus dihabiskan”. Cara berpikir fiskal yang terlalu konservatif dikoreksi. Menurutnya anggaran yang sudah memiliki posnya harus dibelanjakan untuk mendorong pertumbuhan. Kalau uang tidak dibelanjakan, ekonomi tidak bergerak, karenanya percepatan belanja anggaran harus dilakukan.
Ini adalah cara PYS melawan mental accounting lama di birokrasi yang menganggap sisa anggaran adalah tanda kinerja baik. PYS membalik persepsi risiko, bahwa resiko itu ada bukan saat uang dibelanjakan, tapi jika ekonomi mandek.
Saat orang menertawakan target pertumbuhan eknonomi 8% Presiden Prabowo, PYS justeru mendukung. Dengan berseloroh dia mengatakan target 8% itu bukan hal yang mudah tapi juga bukan tidak mungkin dicapai. Kuncinya ada pada cara mengelola fiskal.
PYS meninggalkan cara lama yang konservatif, dari fokus menjaga stabilitas kepada upaya menciptakan pertumbuhan. Reframing effect yang dilakukannya adalah menggeser akun mental nasional dari mode bertahan ke mode berkembang, pro pertumbuhan.
Cara ini membuat ruang publik yang selama Menteri Keuangan lama tenang menjadi gaduh. Riak kegaduhan datang dari beberapa Kepala Daerah yang ditengarai tidak menggunakan anggaran sesuai perencanaan. Alih-alih digunakan untuk mempercepat pembangunan daerah, anggaran itu terkesan dialihkan menjadi SILPA dan SAL.
Namun dengan nada tenang dan selalu datar, PYS menghapus mental account keliru tentang bagaimana uang negara sebagian bisa dinegosiasikan. Sebaliknya dia kekeuh mendorong hadirnya akun mental baru bahwa uang publik harus dibelanjakan secara amanah.
Apakah ini akan berhasil? Tidak semudah itu, namun jika bukan tidak mungkin dilakukan. Sifat irrasional individu salah satunya adalah selalu bertahan dengan kondisi atau pola lama yang membuat mereka nyaman. Status quo bias ini membuat sebagian pejabat negara masih sulit menerima cara pengelolaan keuangan yang keluar dari pola lama.
Namun PYS adalah seorang risk taker. Saat yang lain terjebak dan ragu keluar dari status quo, dia justeru berani mengambil keputusan. Gaya bicaranya yang langsung dan blak-blakan cocok dengan keputusan heuristik publik yang ingin segera ada perubahan. Dia tidak peduli dengan resiko jika sejawatnya resisten. Tegas dia mengatakan hanya bertanggung jawab kepada Presiden.
Kepemimpinan PYS dapat dibaca sebagai upaya sistimatis mengubah struktur berpikir publik dan birokrasi. Mendorong reframing akun mental keuangan negara, dengan merombak cara bangsa ini memaknai uang negara. Dari “yang harus dihemat” menjadi “harus dimanfaatkan dengan cerdas”, dari “uang pemerintah” menjadi “uang publik yang berdampak”.
Komentar