Batok Kelapa dan Pepaya jadi Wadah Tumbilotohe di Pohuwato Gorontalo
07Apr'24
Admin
0 Komentar
136x Dibaca
TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo -- Festival Tumbilotohe yang biasanya identik dengan lampu botol minyak kini hadir dengan wajah baru di Desa Marisa Utara, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo.
Pada Sabtu (06/04/2024) malam ini, festival ini akan menampilkan konsep Green Tumbilotohe yang ramah lingkungan.
Tahun ini, festival Tumbilotohe di Marisa Utara akan menggunakan batok kelapa dan buah pepaya sebagai sumber penerangan.
Konsep ini diusung untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan menghemat biaya.
Ketua Panitia Festival Tumbilotohe, Taupik Lasante (25), mengungkapkan antusiasmenya terhadap konsep Green Tumbilotohe.
"Kami ingin menghadirkan festival yang berbeda dan ramah lingkungan. Penggunaan batok kelapa dan pepaya sebagai sumber penerangan menjadi daya tarik baru," ujar Taupik.
Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Diparpora) Kabupaten Pohuwato, Rusmiyati Pakaya, juga menyambut positif konsep ini.
Menurutnya, Green Tumbilotohe tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga melestarikan budaya leluhur Gorontalo.
"Dulu, sebelum ada lampu botol minyak, leluhur Gorontalo menggunakan batok kelapa dan pepaya untuk penerangan. Green Tumbilotohe memperkenalkan kembali warisan budaya ini kepada masyarakat," papar Rusmiyati.
Rusmiyati menambahkan bahwa Green Tumbilotohe menjadi hiburan baru bagi masyarakat dan sekaligus melestarikan lingkungan.
"Ini adalah inovasi yang positif dan patut diapresiasi. Selain menghibur, festival ini mengajak masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan," tutupnya.
Festival Tumbilotohe dengan konsep Green Tumbilotohe di Marisa Utara ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi daerah lain di Gorontalo untuk menghadirkan tradisi yang ramah lingkungan dan melestarikan budaya leluhur.
Apa itu Tumbilotohe?
Tradisi Tumbilotohe di Gorontalo konon telah berlangsung sejak abad 15. Dahulu, masyarakat menggunakan wamuta (sejenis seludang), tohetutu (damar), dan padamala (wadah dari kima, kerang, atau pepaya) sebagai penerangan.
Seiring waktu, tradisi ini berkembang dengan penggunaan minyak tanah dan kini lampu listrik.
Tradisi ini bukan sekadar hiasan, tetapi memiliki makna religius dan sosial. Tumbilotohe mencerminkan rasa syukur atas datangnya bulan Ramadhan dan menyambut Hari Raya Idul Fitri.
Cahaya yang terang benderang melambangkan kemenangan iman dan harapan baru.
Malam Tumbilotohe menjadi malam paling ramai di Gorontalo. Ribuan lampu hias dipasang di berbagai sudut kota, diiringi lantunan pantun dan atraksi budaya.
Tradisi ini menjadi ajang silaturahmi dan hiburan bagi masyarakat. Biasanya digelar tiga hari sebelum lebaran Idulfitri.
Keunikan Tumbilotohe terletak pada penggunaan lentera tradisional yang dihiasi janur kuning dan dihiasi dengan pisang sebagai lambang kesejahteraan dan tebu sebagai lambang keramahan.
Formasi lentera yang indah dan atraksi budaya seperti meriam bambu dan festival bedug menambah semaraknya tradisi ini.
Tumbilotohe merupakan tradisi unik yang tidak dijumpai di daerah lain di Indonesia. Tradisi ini memiliki potensi besar untuk menarik wisatawan domestik dan mancanegara.
Walaupun tradisi serupa dengan nama berbeda terdapat di daerah tetangga Gorontalo seperti Maninjulo Lambu di Bolmut dan Sumpilo Soga di Bolsel, Tumbilotohe di Gorontalo memiliki keunikan dan kemeriahan yang berbeda.
Tradisi ini menjadi ikon budaya Gorontalo yang patut dilestarikan dan dipromosikan.(*)
Komentar